Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2019 / sebelum pandemi, jumlah anak
tidak sekolah (ATS) usia 7-18 tahun sekitar 4,34 juta anak. Tingkat kemiskinan
pada masa pandemi bertambah dan ancaman ATS juga meningkat. Strategi Nasional
(Stranas) yang disusun Unicef dan pemerintah dalam mengatasi masalah ATS
mengedepankan strategi intervensi dan pencegahan. Strategi intervensi untuk
mengembalikan ATS ke program pendidikan dan pelatihan yang relevan. Strategi
pencegahan untuk memastikan anak yang berisiko putus sekolah tetap bersekolah
sampai tuntas yaitu pendidikan dasar ( SD/MI ) dan sekolah menengah SMP maupun SMA.
lembaga pendidikan luar sekolah salah satu nya ialah Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).Kehadirannya tumbuh sampai pelosok desa.
PKBM didirikan atas inisiatif individu, kelompok, atau yayasan. Pada umumnya
PKBM hadir dalam upaya menjembatani kebutuhan ATS untuk mendapatkan kesetaraan
pendidikan, sehingga cenderung untuk mendapatkan ijazah sekolah formal. Seiring
keberhasilan pemerintah meningkatkan akses terhadap sekolah formal, di sejumlah
tempat juga banyak keberadaan PKBM.
Melihat fleksibilitas proses pembelajaran di PKBM, mestinya lembaga pendidikan
non-formal tersebut menjadi jawaban untuk menjamin ATS mendapat keseteraan
pendidikan .Dan sebagai penyedia PKBM, desain kurikulum yang dikembangkan lebih
kondisional dengan tujuan membekali peserta dengan kemampuan yang mumpuni
dengan kebutuhan yang dihadapi. Sebab itu menempatkan PKBM sebagai pengaman ATS
sungguhlah tepat. Untuk mengaktivasi keberadaan PKBM. pemerintah pusat dan
pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah desa perlu mengembangkan
konsep satu desa satu PKBM.Agar masyarakat dapat mencari ilmu tanpa adannya
beban / batasannya.
Tiap desa menghadirkan PKBMberkualitas melalui instruktur bagus, fasilitas
memadai, serta fleksibilitas waktu belajar yang disesuaikan dengan kondisi
peserta, PKBM tak berorientasi uang, baik uang dari orangtua maupun orientasi
bantuan dari pemerintah. Sebagai guru di sekolah, saya sering membayangkan anak
yang berhenti sekolah tetap belajar, meneruskan proses pembelajaran di PKBM.
Usai membantu orangtua dan atau bekerja dalam usaha mendapatkan penghasilan,
anak menyempatkan diri belajar di PKBM --walaupun saya selalu membayangkan
tidak ada lagi anak putus sekolah.
Selain mengembangkan PKBM untuk menampung ATS, pemerintah
desa juga berperan melakukan pencegahan anak berisiko putus sekolah. Selama
ini, pemerintah desa cenderung menganggap tingkat ATS hanya masalah kecil dan
angka tingkat pendidikan warganya semata. Ketika ada anak terancam putus
sekolah, seolah-olah hanya tanggung jawab sekolah dan keluarga, terlepas dari
pemerintah desa.
Pemerintah desa dapat mengembangkan sistem informasi data penduduk usia
sekolah. Melalui pangkalan data diharapkan muncul program yang terukur, seperti
program beasiswa sampai program pendampingan dalam upaya menjamin anak
menyelesaikan pendidikan, setidaknya sampai tingkat menengah. Sinergi antara
tripusat Pendidikan sekolah dan atau PKBM, keluarga, lingkungan masyarakat yang
di antaranya diwakili pemerintah desa menjadi bagian tak terpisahkan dalam menjamin
keberlangsungan pendidikan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar